SAATNYA BERPIHAK TERHADAP KAUM MUSTADH’AFIN

Foto : Aswan Nasution.

Sikapnews.com
SAATNYA BERPIHAK TERHADAP KAUM MUSTADH’AFIN

Oleh:
 Aswan Nasution
Alumni 1979 Al-Qismul A’ly Al-Jami’atul Washliyah Isma’iliyah Medan-Sumatera Utara

“Mengapa kamu tidak ikut berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki bahkan wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdo’a, “Ya Tuhan kami keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau,” (QS. An-Nisaa’ : 75).

Bacaan Lainnya

Dalam masyarakat Islam, kelompok yang dimasukkan dalam kategori mustadh’afin (orang-orang lemah) sering kali terbatas pada kelompok fakir dan miskin. Mereka yang mengalami ketertindasan secara sosial dan struktural, oleh karena penindasan struktur kapitalisme nasional maupun global yang tidak adil, juga adalah termasuk kelompok mustadh’afin.

Banyak dari kelompok fakir dan miskin itu menjadi dhu’afa bukan karena mereka malas bekerja, tapi ada yang disebut dengan struktur kemiskinan kelas dan dosa sosial, Matrix penindasan, dan seterusnya.

Dalam konteks Indonesia, pembelaan kepada mereka yang tertindas juga merupakan makna dari Sila ke-5 “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” Maka sudah seharusnya kita bersama bahu-membahu untuk saling tolong-menolong serta berbagi kepada sesama.

Islam datang untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu ketidak adilan. Penyariatan zakat, anjuran infak dan sedekah, terbukti telah menghancurkan sistem kapitalistik bangsa Arab ketika itu. Islam tidaklah melarang orang menjadi kaya, karena kekayaan merupakan karunia Allah. (QS.16: 71).

Dengan kekayaan seseorang mempunyai kesempatan yang luas untuk berbuat baik. Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana antara yang the have dan the have not saling menolong (ta’awun).

Sebab, orang kaya tidak akan mampu hidup tanpa adanya orang miskin. Maka hubungan keduanya adalah simbolis, take and give bahkan Sprit Islam dengan demikian membangun kembali tatanan hubungan antara keduanya agar terjadi keadilan.

Meskipun kaya-raya adalah Sunnatullah, Islam mengecam mereka yang selalu menumpuk harta kekayaan, sedangkan di sekelilingnya terhampar pemandangan orang miskin, fakir dan anak yatim yang bergelimpangan.

Surat Al-Ma’un merupakan contoh konkrit bahwa orang yang menolak ajaran keharusan menegakkan keadilan sosial sebagai pendusta agama. Taruhannya yang sangat berani, karena Islam langsung menjustifikasi mereka sebagai seorang pendusta agama yang secara etika tidak lagi dipandang sebagai orang yang baik.

Ungkapan keadilan dalam Al-Qur’an hampir selalu berkaitan langsung dengan tugas dan amanat untuk memperhatikan kesejahteraan warga masyarakat, terutama kaum mustadh’afin (orang-orang lemah) yang menderita dan lemah posisinya.

Misalnya, kaum miskin, yatim piatu, janda wanita hamil, penghutang pailit, dan pedagang yang kehabisan modal dan lainnya.

Menegakkan keadilan dalam Al Qur’an juga dikaitkan dengan “tugas” atau “amanat”, yaitu titipan suci Tuhan berkenaan dengan kekuasaan memerintah.

Maka yang pertama-tama harus dipenuhi oleh suatu kekuasaan untuk mendapat legitimasi Islam ialah menjalankan amanat itu dengan cara menegakkan keadilan atau mewujudkan keadilan sosial, sehingga tiada orang kelaparan di samping lainnya yang kekenyangan.

Dalam pemerintahan di mana semangat keadilan Islam dijalankan, setiap individu dilindungi keamanannya dan hak miliknya. Setiap orang bebas mengumpulkan kekayaan dan hak milik pribadi tetapi tak boleh sampai mengakibatkan masyarakat sengsara.

Dalam keadaan darurat, Islam memperbolehkan pengambilan sebagian harta orang kaya untuk meringankan penderitaan fakir miskin, atau untuk mencukupi kebutuhan negara dalam mengentaskan kemiskinan.

Semua itu karena sebenarnya seisi bumi adalah milik Allah Swt yang diamanatkan kepada manusia untuk kesejahteraan bersama (QS. Al-Maidah: 120, dan Hud: 61). Konsekuensinya, semua kekayaan harus menjadi sumber daya sosial yang tak boleh dikuasai atau dinikmati segelintir orang.

Harta tak boleh ditimbun atau dihamburkan tanpa manfaat. Tidak boleh hanya beredar di lingkungan orang kaya saja, tapi harus dilepaskan agar dapat dimanfaatkan oleh mereka yang tergolong mustadh’afin.

Karena itu, dalam perspektif Islam, negara berkewajiban menjaga dan memperbesar sumber daya sosial untuk membangun masyarakat.

Kekayaan Nasional adalah sumber daya sosial. Siapa pun tidak berhak mendepositokan kekayaan nasional dalam rekening-rekening pribadi atau digunakan untuk kepentingan-kepentingan pribadi di luar ketentuan perundang-undangan.

Setiap anggota masyarakat yang memanfaatkan sumber daya sosial, misalnya untuk belajar atau mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada dasarnya adalah meminjam fasilitas kepada rakyat.

Karena itu harus senantiasa berhubungan dengan rakyat dan memberikan pelayanan kepada rakyat.

Pendeknya sumber daya sosial harus dipelihara pertumbuhannya sehingga fasilitas-fasilitas umum semakin banyak dibangun sampai kebutuhan-kebutuhan rakyat banyak terutama kaum miskin dan anak-anak terlantar semakin dapat dipenuhi. Wallahu a’lam bisshawab.

Referensi:
Republika, Hidup adalah Surga, 2002.

Pos terkait