Penulis : Aswan Nasution
NTB_Sikapnews.com : “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi seluruh manusia” Ibrahim berkata: ” (Dan saya mohon juga) dari keturunanku…?. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim”. (QS. Al-Baqarah: 124).
Dari ayat di atas, dapat dilihat bahwa seorang pemimpin diangkat dan dipatuhi serta di taati oleh masyarakat jika pemimpin tersebut telah dapat membuktikan dirinya bisa melaksanakan perintah Allah, menegakkan keadilan, menjalankan supermasi hukum, dan dapat menjalankan roda pemerintahan dengan manajemen yang baik dan handal.
Dan dari sini juga dapat dilihat bahwa seorang pemimpin akan selalu diuji, dan ujian tersebut akan menjadi penentu bagi kelangsungan kepemimpinan seseorang. Jika dia lulus dalam ujian, maka dia akan mendapat kepercayaan untuk tetap melaksanakan amanah kepemimpinan.
Selain itu, pemberian kepercayaan kepada seorang sebagai adalah jika seseorang itu telah teruji dalam memimpin dengan melaksanakan segala amanat yang diberikan kepadanya, bukan karena fanatik buta kepada seseorang, atau karena kehebatan keturunan , atau karena darah dan lain sebagainya. Itulah sebabnya ketika Nabi Ibrahim berkata :
“Ya Allah, jika aku telah diangkat sebagai pemimpin, bagaimanakah nasib anak keturunanku nanti, apakah mereka juga akan menjadi pemimpin…”?, maka dengan tegas Allah berfirman: “Janjiku ini tidak akan berlaku bagi mereka yang dzalim.” (QS. Al Baqarah: 124).
Menurut Ibnu Abbas, maksud daripada ayat ini adalah: “Tidak ada perjanjian denganmu menta’ati orang yang dzalim”. Sedangkan menurut Mujahid, Muqatil dan Atha’ ayat ini ditafsirkan: “Orang dzalim tidak mendapat janji Tuhan, jika mereka mendapat kekuasaan memimpin, maka putuskanlah hubungan ketaatan kepadanya”.
Kemudian Zamakhsyari menafsirkan: “Barangsiapa yang dzalim diantara keturunan Ibrahim maka mereka tidak boleh menjadi khalifah dan pemimpin, karena kepemimpinan hanya diberikan kepada mereka yang adil dan tidak terkena polusi kedzaliman”.
Sebab itu dapat disimpulkan bahwa seorang yang dzalim tidak boleh diangkat (dipilih) menjadi pemimpin. Juga berarti bahwa jika seorang pemimpin itu telah melakukan kedzaliman, maka sebaiknya dia segera sadar untuk mengundurkan diri, karena jika tetap bertahan maka kedzaliman akan terus berlangsung karena ia tidak mampu untuk menjalankan amanah yang telah diberikan kepadanya.
Jika dia tidak mau mengundurkan diri, maka masyarakat berhak untuk tidak taat kepadanya dan segera menggantikan dan mengangkat orang lain yang lebih tepat dan telah diketahui akan rekam jejaknya, diakui kepribadian, akhlak dan kepemimpinnya.
Kedzaliman adalah lawan daripada keadilan. Orang yang berbuat dzalim adalah orang yang telah melanggar nilai-nilai keadilan. Sedangkan kemaksiatan adalah mekakukan hal yang bertentangan dengan hukum dan perintah Allah SWT.
Melakukan penyalah gunaan kekuasaan adalah kedzaliman. Melakukan korupsi, nepotisme, kronisme. Tidak melaksanakan amanat yang diberiberikan oleh rakyat kepadanya juga merupakan suatu kedzaliman. Tetapi kedzaliman dan kemaksiatan seorang pemimpin tersebut harus merupakan suatu fakta yang jelas dan bukan merupakan fitnah, sangkaan atau gosip semata
Jika telah jelas melakukan pelanggaran hukum, dan kedzaliman maka masyarakat perlu bersikap. Itulah sebabnya dalam hadits disebutkan:
“Barangsiapa diantara kamu melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya jika dia mampu untuk melakukan itu. Apabila dia tidak mampu mencegah dengan tangannya, maka hendaklah dia mencegahnya dengan lidahnya dan apabila tidak mampu juga, maka hendaklah dia mencegah dengan hati, dan tindakan yang terakhir ini merupakan selemah-lemah iman”. (HR. Muslim)
Bersambung Part II