Penulis : Aswan Nasution
NTB_Sikapnews.com : “(Yaitu) mereka yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati teryulis dalam Taurat dan Injil yang ada disisi mereka; ia menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang munkar, menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk atas merekam serta melepaskan berbagai beban dan belenggu-belenggu yan ada pada mereka.”(QS. Al-A’raf (7):(157).
Sebagai hamba Allah SWT yang beriman, kita percaya bahwa segala yang diperbolehkan (halal) adalah baik, sebaliknya segala yang dilarang (haram) oleh syari’at adalah buruk.
Demikian pula segala yang diharamkan pasti mengandung bahaya, sebaliknya segala yang dibolehkan, apalagi yang dianjurkan pasti mengandung manfaat bagi manusia.
Boleh jadi sampai saat ini manusia belum menemukan secara ilmiah dzat yang membahayakan tubuh manusia pada makanan tertentu yang diharamkan Allah SWT, tapi sebagai umat Islam kita harus yakin bahwa pada suatu saat nanti, ilmu pengetahuan akan sampai pada satu tahap yang membuktikan kebenaran larangan tersebut. Tentang hal ini kita tidak ragu sedikitpun juga.
Khusus mengenai keharaman makanan, bisa bersumber dari dua sebab. Pertama, karena dzatnya sendiri yang haram. Kedua, karena asal usul didapatkannya makanan tersebut. Seperti anjing, babi, dan khamar li-dzatihi. Haram karena dzatnya sendiri sudah haram. Ia tetap haram dikonsumsi, sekalipun didapatkan dengan cara yang dibenarkan oleh syari’at.
Sebaliknya, nasi atau jagung, keduanya termasuk makanan yang baik dan halal. Cara untuk mendapatkannya adalah benar dan sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka mengkonsumsinya adalah boleh (halal).
Akan tetapi mengkonsumsi kedua makanan halal itu menjadi haram jika berasal dari usaha yang tidak diperbolehkan. Misalnya, hasil menipu atau mencuri (korupsi).
Dari Abu Hurairah RA beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik (bersih dari segala cacat dan cela), tidak menerima kecuali yang baik saja. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman dengan sesuatu yang diperintahkan kepada para Rasul, di mana Dia berfirman: ‘Wahai para Rasul, makanlah dari sesuatu yang baik-baik dan beramallah yang saleh’. Dia berfirman juga: ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu’. Kemudian Nabi menyebut lelaki yang melakukan perjalanan yang jauh, rambutnya terurai, dan mukanya berdebu. Ia mengadahkan tangannya ke langit (sambil berdoa), Ya Tuhan, ya Tuhan, padahal makanannya adalah haram, minumannya juga haram, pakaiannya juga haram, dan ia dijejali dengan (makanan) haram, maka mana mungkin ia akan dikabulkan.” (HR. Muslim).
Setiap suap makanan akan menghasilkan energi, darah, daging, kototoran, juga penyakit. Makanan tidak saja menghasilkan sampah, baik berupa keringat, kencing, maupun kotoran manusia, tapi juga penyakit.
Tidak sedikit penyakit manusia yang bersumber pada makanan. Dapat dibayangkan, jika penyakit kita justru berasal dari kombinasi makanan yang tidak thayyib dan tidak halal sekaligus!
Jika makanan yang tidak halal itu menghasilkan energi, baik yang menggerakkan fisik, pikiran, dan perasaan, lalu bagaimana hasilnya? Jika menghasilkan gerakan fisik berupa perilaku, lalu perilaku yang bagaimana yang dihasilkan dari makanan yang haram?
Jika makanan yang haram itu menghasilkan pikiran, lalu pikiran macam apa yang akan diperoduknya? Jika berupa perasaan, lalu perasaan apa yang dihasilkannya?
Jika makanan yang haram itu menghasilkan darah dan daging, bagaimana pandangan agama? Dalam hal ini Rasulullah SAW mengingatkan: “Setiap jasad yang tumbuh dari makanan yang haram, maka api neraka lebih utama membakarnya.” (HR. Ath-Thabrani).
Maka dari itu berhati-hatilah dengan makanan atau minuman yang akan masuk dalam perut kita. Jagalah dan hindari, serta jauhkan mulut dan perut kita dari sesuatu yang haram maupun syubhat.
Karena hal itu akan mempengaruhi jiwa, pikiran, dan tingkah laku kita kepada sesama manusia maupun kepada Allah SWT. Dan jangan sampai amal ibadah kita tertolak hanya karena faktor makanan yang kita telan itu haram, Naudzubillah min dzalik.
“Ya Allah, cukupkan untukku dengan apa yang Kau halalkan dari apa yang Kau haramkan. Dan cukupkan aku dengan fadhilah- Mu, dari selain-Mu”. (HR. At-Tirmidzi). Wallahu’alam bish shawab.