Ini Penjelasan Aswan Nasution Tentang Bahaya Lisan Yang Tidak Terjaga

asawan nasution lombok nusatenggara barat
Foto : Al-ustadz Aswan Nasution.

BAHAYA LISAN YANG TIDAK TERJAGA
Oleh:
Al-Ustadz H. Aswan Nasution, S. Ag
Purna Bakti Kementrian Agama RI – Nusa Tenggara Barat

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Bacaan Lainnya

Ketahuilah, bahwa bahaya lisan itu sangat besar dan tidak bisa seseorang selamat darinya melainkan dengan berkata-kata yang baik. Mu’az bin Jabal berkata, “Wahai Rasulullah, apakah akan disiksa karena apa-apa yang kita ucapkan? “Beliau menjawab, “Wahai ibnu Jabal, bukankah manusia dibalikkan dengan bertumpu pada hidung mereka di dalam neraka hanya karena buah lisan mereka.” [Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Al-Hakim].

Suatu ketika Ibnu Mas’ud Radhiyallahahu Anhu berkata, “Wahai lisan, berkata-katalah yang baik maka engkau akan beruntung, dan diamlah mengucapkan yang buruk sebelum engkau menyesal,” Beliau Shallallahu Alaihi wa Salam bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau diam,” [HR. Al-Bukhari dan Muslim] 

Dari hadits di atas, Rasulullah SAW mendahuluinya dengan mengungkap keimanan sebelum memperingatkan tentang bagaimana sebaiknya lisan digunakan. Keimanan adalah hal mendasar bagi umat Islam. Ini menunjukkan bahwa urusan lisan bukan urusan main-main atau candaan belaka.

Hadits di atas bisa dipahami sebaliknya [mafhum mukhalafah] bahwa orang-orang yang tak bisa berkata baik maka patut dipertanyakan kualitas keimanannya kepada Allah SWT dan hari akhirat. Hal ini sangat menarik jika kita ketahui karena lisan ternyata berkaitan dengan teologi.

Terkait tentang nilai kebaikan dalam kata-kata yang kita ucapkan, juga dampak yang bakal timbul setelah ucapan itu dilontarkan. Ini penting dicatat supaya kesalahan tak berlipat ganda karena lisan manusia yang tak terjaga. 

Politisi yang sering mengingkari janji itu buruk, tapi akan lebih buruk lagi bila ia tak pandai menjaga lisannya. Pejabat yang gemar berbohong itu buruk, namun lebih buruk lagi apabila ia juga pintar berbicara, dan sterusnya.

Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh yang paling aku khawatirkan atas kalian semua sepeninggalku adalah orang munafiq yang pintar berbicara.” [HR. at-Thabrani]. 

Di zaman modern ini, ucapan atau ujaran tak semata mucul dari mulut tapi juga bisa dari status Faceboak, cuitan di Twitter, meme di Instagram, konten vidio, dan lain sebagainya. 

Media sosial juga menjadi ajang ramai-ramai berbuat ghibah, fitnah, terbar kebohongan, provokasi kebencian, terjadinya peristiwa penistaan agama, bahkan sampai ancaman fisik yang membahayakan. 

Makna lisan pun meluas, mencakup pula perangkat-perangkat di dunia maya yang secara nyata juga mewakili lisan kita. Dampak yang ditimbulkannya pun sama, mulai dari adu domba, tercorengnya martabat orang lain, sampai bisa perang saudara. 

Karena itu, kita seyogianya hati-hati berucap atau menulis sesuatu di media sosial. Berpikir dan bertabayyun [klarifikasi[ menjadi sikap yang wajib dilakukan untuk menjamin bahwa apa yang  bernilai maslahat atau sekurang-kurangnya tidak menimbulkan mudarat. 

Ingatlah bahwa Allah SWT mengutus malaikat khusus untuk mengawasi ucapan kita, baik hasil lisan kita maupun ketika jari-jari kita di media sosial dan lainnya. Karena itu Allah berfirman: “Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir,” [QS. Qaaf: 18]. Dan ada pepatah Arab mengatakan, Salamatul Insan Fi Hifadhil Lisan [keselamatan seseorang tergantung pada lisannya].

Islam bahkan hanya memberi dua pilihan terkait fungsi lisan: untuk berkata yang baik atau diam saja, seperti bunyi hadits riwayat Imam Bukhari, ” Siapa yang beriman kepada Allah dan dari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atu diam.” [HR. al-Bukhari].

Dengan demikian, keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan. Siapa yang menanam benih kebaikan dengan lisannya, dia akan menuai buah manis kemuliaan. Dan siapa yang menanam  benih keburukan dengan lisannya, dia akan menuai buah pahitnya penyesalan.  Walahu a’lam bish shawab. 

Referensi : Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali, Darul Falah, Muharram 1438H/Oktober 2016 dan lainnya.

Pos terkait